Tanggal: 14 Oktober 2025
Penulis: Majelis.info Editorial
- Ringkasnya (TL;DR)
- 1) Mengapa Santri Tersinggung?
- 2) Duduk Perkara Tayangan Xpose
- 3) Gelombang Solidaritas: #BoikotTrans7
- 4) Tentang Surat Permintaan Maaf Trans7
- 5) Red Line: Etika Jurnalistik Bukan Opsi
- 6) Apa yang Sebenarnya Terjadi di Pesantren?
- 7) Tuntutan Publik yang Rasional
- 8) Ajakan Aksi: Bela Pesantren, Jaga Marwah
- FAQ (Supaya Tidak Salah Paham)
Ringkasnya (TL;DR)
- Episode Xpose Uncensored Trans7 (13/10) menayangkan narasi yang dianggap melecehkan kiai dan santri (Lirboyo & pesantren umumnya).
- Gelombang protes muncul: santri, alumni, ormas, hingga tokoh publik menyerukan #BoikotTrans7.
- Trans7 mengirim surat permintaan maaf; publik menilai belum cukup karena dampaknya menyasar seluruh pesantren.
- Tuntutan publik: minta maaf terbuka ke komunitas pesantren, evaluasi internal, konten penyeimbang yang edukatif, dan tindakan regulator.
- CTA: Dukung gerakan Bela Pesantren — tanda tangani petisi:
👉 https://www.change.org/p/cabut-izin-siaran-trans7?source_location=my_petitions_list
1) Mengapa Santri Tersinggung?
Masyarakat pesantren memegang adab sebagai inti pendidikan: tawadhu’, takzim pada guru, disiplin hidup sederhana. Adegan santri berjalan menunduk/“ngesot” saat sowan kiai adalah simbol hormat, bukan komedi. Pemberian amplop (bisyaroh/tabarruk) adalah sukarela sebagai terima kasih — bukan “upeti”, apalagi mesin memperkaya kiai.
Ketika ini dipelintir jadi narasi “kiai makin kaya raya dari amplop santri”, luka itu bukan hanya milik Lirboyo. Ia menampar kultur pesantren Nusantara dari Aceh sampai Papua.
2) Duduk Perkara Tayangan Xpose
Episode tersebut menampilkan potongan dari beberapa lokasi dan mengikatnya dengan voice-over yang menuduh, menyindir, dan menertawakan tradisi pesantren. Bagi penonton yang tidak paham kultur, framing seperti ini menanamkan prasangka: pesantren = feodalisme, kiai = hedonis.
Itu problemnya: framing mengalahkan fakta, sensasi mengalahkan etika.
3) Gelombang Solidaritas: #BoikotTrans7
- Santri & alumni: linimasa dipenuhi poster “Framing Jahat — Mencederai Marwah Pesantren”.
- AIS Nusantara (AISNU): mengecam keras, mendesak KPI memberi sanksi; menyerukan permintaan maaf terbuka & bermakna, bukan formalitas.
- HIMASAL (alumni Lirboyo) di berbagai daerah: pernyataan sikap, koordinasi langkah hukum, mendorong konten penyeimbang tentang kiai-santri.
- Publik menuntut evaluasi redaksional: siapa menyunting, siapa menyetujui, dan apa tindakan korektif agar tidak berulang.
4) Tentang Surat Permintaan Maaf Trans7
Trans7 mengaku terjadi “keteledoran” dan berjanji berbenah. Itu langkah awal yang tepat.
Namun, banyak pihak menilai:
- Dampak tayangan menyasar seluruh pesantren, maka permintaan maaf mestinya juga untuk seluruh komunitas pesantren — bukan hanya satu pondok.
- Publik perlu tindakan nyata, misalnya: take-down video, klarifikasi terbuka on-air, program edukatif tentang pesantren, dan SOP editorial baru untuk isu keagamaan.
5) Red Line: Etika Jurnalistik Bukan Opsi
Kritik sosial boleh — tapi wajib berimbang, berdasar, dan berempati budaya.
Saat media mengolok yang sakral, ia tidak sekadar salah angle; ia merusak kepercayaan. Pesantren tidak anti kritik; pesantren anti fitnah dan stereotip.
6) Apa yang Sebenarnya Terjadi di Pesantren?
Sedikit edukasi buat yang bukan santri:
- Adab minum/jalan/jumpa guru: latihan batin menundukkan ego.
- Amplop/tabarruk: ungkapan terima kasih, seikhlasnya; banyak kiai menyalurkan kembali untuk operasional & sosial.
- Kerja bakti/khidmah: bukan perbudakan, tapi pendidikan karakter — disiplin, tanggung jawab, kebersamaan.
Nilai-nilai ini yang justru membentuk moral publik yang kita rindukan.
7) Tuntutan Publik yang Rasional
- Permintaan maaf terbuka kepada semua pesantren dan ulama yang terdampak.
- Penarikan/take-down seluruh potongan tayangan bermasalah.
- Program penyeimbang: dokumenter/feature yang menampilkan pesantren apa adanya (ilmu, adab, karya sosial).
- Evaluasi redaksi & SOP sensitif-agama (cek fakta, cover both sides, panel etik).
- Pengawasan KPI yang konsisten untuk mencegah pengulangan.
8) Ajakan Aksi: Bela Pesantren, Jaga Marwah
Kalau kamu santri, alumni, wali santri, atau warga yang peduli:
- Tanda tangani petisi: 👉 https://www.change.org/p/cabut-izin-siaran-trans7?source_location=my_petitions_list
- Sebarkan edukasi positif tentang pesantren.
- Tag media/regulator secara santun, minta pertanggungjawaban.
- Dukung konten yang menampilkan pesantren secara adil.
“Santri bukan komoditas tontonan. Santri adalah subjek kebudayaan—dengan sejarah, adab, dan kontribusi besar bagi bangsa. Hormati marwahnya.”
FAQ (Supaya Tidak Salah Paham)
Q: Apakah pesantren anti kritik?
A: Tidak. Pesantren terbuka pada kritik berbasis data & adab. Yang ditolak: framing yang menista dan menyesatkan.
Q: Mengapa santri menunduk/“ngesot” saat sowan kiai?
A: Itu adab — menahan ego, menghormati ilmu. Beda kultur bukan berarti salah; hormati perbedaan.
Q: Amplop untuk kiai itu apa?
A: Bisyaroh/tabarruk: terima kasih sukarela. Banyak kiai menyalurkannya kembali untuk pondok & sosial.
Q: Apa yang diharapkan dari Trans7 sekarang?
A: Klarifikasi on-air, take-down konten, program penyeimbang, evaluasi internal, dan permintaan maaf ke komunitas pesantren luas.
